Rabu, 06 Desember 2017

Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah



Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah

Oleh : Khoirunnis Salamah






           Nama Daulah Umayyah berasal dari nama Umayah ibnu abdi Syams ibnu Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin Quraisy Zaman Jahiliyah. Umayyah bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya.
            Sesudah datang Islam, hubungan anatara Bani Umayyah dengan saudara-saudara sepupunya Bani Hasyim berubah. Oleh karena persaingan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan tadi sifatnya berubah menjadi permusuhan. Bani Umayyah  dengan tegas menentang Rasulullah, sedang Bani Hasyim itu penyokong Rasulullah.
            Adapun sebab terjadinya permusuhan itu:
1.      Takut kedudukan mereka dalam masyarakat diambil oleh Rasulullah saw. (keturunan Bani Hasyim). Dikiranya Rasulullah ingin mencari kedudukan.
2.      Ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah (Islam) bertentangan dengan agama nenek moyang mereka (agama Jahiliyah).

Tetapi mereka terpaksa menyerah dan masuk Islam karena:

1.      Pengikut Rasulullah makin lama makin banyak. Kebenaran ajaran yang dibawa Nabi Muhammad (Islam)
2.      Karena Kota Makkah ditaklukkan kaum muslimin maka banyak orang kafir Mekkah masuk Islam.

Kemudian mereka setelah memasuki Islam, Bani Umayyah lah yang merupakan  golongan kuat membela agama Islam untuk memerangi orang-orang kafir. Di antara pahlawan yang terkenal yaitu Abu Sufyan ibnu Umayyah kemudian Yazid ibnu Sufyan (putra Sufyan) begitu juga dengan Hindun istri Sufyan sendiri.
Ditinjau dari rentetan perjuangan Bani Umayyah pada teorinya mereka telah berdiri sejak pengangkatan Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah ke-3, sebab beliau keturunan Bani Umayyah (Utsman bin Affan bin Abd. Ash bin Umayyah).
Kesempatan yang baik  bagi mereka adalah diangkatnya Muawiyah menjadi Gubernur di daerah Syam oleh khalifah Umar. Sejak Utsman itulah Bani Umayyah meletakkan dasar-dasar menegakkan khilafah Umayyah.
Ketika Utsman dibunuh maka penggantinya adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Bani Hasyim) sebagai khilafah  ke-4. Sedang pada waktu itu kedudukan Muawiyah di Syam telah kuat oleh karena itu mudahlah melawan Sayyidina Ali dan akhirnya dikalahkan, sehingga jabatan khalifah berpindah kepada Muawiyah dan disinilah Daulah Umayyah berkuasa sejak tahun 40-132 H (92 tahun).         


A. Kekhalifan Muawiyyah bin Abu Sufyan (41-60 H/ 66-679 M)
Setelah periode Khulfaur Rasyidin semua kelompok sepakat bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan , walaupun mereka berselisih paham pada sejauh mana telah terjadi perubahan. Sesungguhnya, naiknya Muawiyah menjadi khalifah pada mulanya tidak berlangsung melalui forum pembaiatan yang bebas atau melalui pemilihan dari semua umat. Yang membaiat Muawiyah untuk pertama kali adalah penduduk Syam yang ketika itu berada di bawah kekuasaannya, kemudian barulah Muawiyah dibaiat oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan (aamul-jama’ah). Yang harus digaris bawahi, pada hakikatnya pembaitan itu tidak lebih dari pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka disinilah telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan kesukarelaan total atau permusyawaratan. Karena itu, mungkin  dapat dikatakan bahwa pada detik ini telah terjadi perceraianantara idealism dan realita, dan sistem kekhalifan dilihat dari asas yang mendasarinya mulai menyimpang ke arah monarki.
Muawiyah termasuk salah seorang sahabat Nabi, dan dia juga memiliki kedudukan terkemuka dalam islam sebagai pejuang dalam perang penaklukan islam di negeri Syam. Beliau ditunjuk sebagai Gubernur Syam karena dalam diri Muawiyyah terdapat kecakapan dan ketegasan dalam memimpin. Muawiyah benar-benar telah menunjukkan kemampuannya dalam administrasi dan kecerdasannya dalam berpolitik, serta mampu mempertahankan negara islam dari serangan Romawi. Setelah Muawiyah, suasana terkendalikan. Dia meneruskan kembali kebijakan politiknya pada masa kekhalifannya. Muawiyah berusaha menarik simpati rakyat dengan kedermawaan dan sikap santun, walaupun dia juga terkadang keluar dari aturan ini dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang menentangnya.
Pengalaman politik Muawiyah bin Abu Sufyan telah memperkaya dirinya dengan kebijakan-kebijakan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan  di bawah komando Panglima Abu Ubaidillah din Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah dan Mesir dari tangan Imperium Romawi. Kemudian Muawiyah menjabat sebagai kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina. Khalifah Utsman menobatkannya sebagai “Amir Al-Bahr” yang memimpin penyerbuan ke kota Konstatinopel meski belum berhasil.
Opini kelompok-kelompok islam sekitar kekhalifahan. Kelompok Ahlus Sunnah mengakui kekhalifahannya setelah tahun persatuan (aamul-jama’ah), walaupun hal itu lebih banyak didorong oleh tendensi pengkuan terhadap realita yang ada. Karena, pada dasarnya, kekhalifahan Muawiyah belum berdiri atas dasar pembaiatan yang bebas dan umum. Sejalan juga dengan kelompok Ahlus Sunnah, sikap kelompok Mur’jiah dan Muktazilah yang muncul kemudian, bahkan kita melihat bahwa al-Asham dan al-Futhi dari kelompok Muktazilah mengakui secara utuh kekhalifahan Muawiyah dan mengkategorikan Muawiyah sebagai imam (khalifah) pertama. Pendapat ini berseberangan dengan Mahzab Syi’ah. Mereka hanya mengakui kekhalifahan Ali dan anak keturunannya, serta berpandangan bahwa kelompok selain Syi’ah adalah perampas hak-hak mereka. Dengan demikian, kelompok Syi’ah tidak mengakui sama sekali kekhalifahan Muawiyah begitu juga dengan khalifah yang datang setelahnya, berikut dengan kekhalifahan siapa pun selain keimamahan (kekhalifahan) keturunan Ahli Bait.

Muawiyah selain sebagai pendiri juga sebagai khalifah pertama Bani Umayyah. Muawiyah dipandang sebagai pembangun dinasti ini, oleh sebagian sejarawan dipandang negatif sebab keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasannya dalam perang saudara di shiffin. Terlepas dari itu dalam diri Muawiyah terkumpulan sifat-sifat seorang penguasa, politikus, dan administrator.
Keberhasilan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya kemenangan diplomasi dalam perang Shiffin dan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib melainkan sejak semula Muawiyah memiliki “basis nasionalisme” yang solid sebagai landasan pembangunan masa depan. Selain itu ia mendapatkan dukungan yang kuat dari suriah dan keluarga Bani Umayyah, ia merupakan seorang administrator yang sangat bijaksana dalam menempatkan para pejabat-pejabatnya serta ia memiliki kemampuan yang menonjol sebagai negarawan sejati.

Muawiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit setelah ia menjabat sebagai khalifah selama 19 tahun. Dengan diangkatnya Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota maka tampuk kepimpinan berada ditangannya.


B.     Yazid bin Muawiyah (60-64 H/ 679-683 M)
Sistem kekhalifahan mengalami perubahan baru yaitu berubah menjadi sistem kerajaan (monarki). Perubahan itu terjadi ketika Muawiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan kepada Yazid anaknya. Dengan perubahan baru ini, masuklah prinsip warisan dalam sistem kekhalifahan. Maka, maikin dalamlah jurang pembeda dan pemisah antara kekhalifahan yang idealistis denagn kekhalifahan yang realistis. Kerena peralihan ini merupakan suatu peralihan yang teramat penting., adalah sebuah keharusan untuk menerangkan bagaimana ide pewarisan jabatan kekhalifahan itu timbul dan bagaimana prosedur pengambilan keputusannya, serta apa penyebab alasan- alasannya.
Pengangkatan Yazid sebagai khalifah diikuti oleh penolakan dari kaum Syiah yang telah membaiat Husin bin ali Kufah sebagai khalifah sepeninggal Muawiyah. Penolakan tersebut mengakibatkan peperangan Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain bin Ali. Selain itu Yazid juga menghadapi pemberontakan di Makkah dan Madinah dengan keras. Kaum Anshor di Madinah mengangkat Abdullah bin Hanzalah dan kaum Quraisy mengangkat Abdullah bin Muti’, dan penduduk Mekkah mengangkat Abdullah bin Zubair sebagai pemimpin tanpa pengakuan terhadap kepimimpinan Yazid. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah selama 4 tahun. Pada masa ini pemerintahan islam tidak banyak berkembang diakibatkan pemerintah disibukkan dengan pemberontakan dari beberapa pihak.

C.    Muawiyah bin Yazid (64 H/ 683 M)
Muawiyah bin Yazid merupakan putra Yazid bin Muawiyah, dan ia menggantikan tampuk kepimimpinan sepeninggal ayahnya. Namun ia hanya memegang jabatan khalifah hanya dalam beberapa bulan. Ia mengalami tekanan jiwa yang berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab kehalifahan, selain itu harus mengatasi masa kritis dengan banyaknya perselisihan antar suku. Dengan wafatnya Muawiyah bin Yazid habislah keturunan Muawiyah.

D.    Marwan bin Hakam (64-65 H/ 683-684 M)
Marwan bin Hakam pada masa Utsman bin Affan, seorang pemegang stempel khalifah, pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan ia merupakan gubernur Madinah dan menjadi penasehat pada masa Yazid bin Muawiyah di Damaskus. Muawiyah II tidak menunjuk penggantinya sebagai khalifah kemudian keluarga besar Bani Umayyah menunjuknya sebagai khalifah, sebab ia dianggap paling depan mengendalikan kekuasaan dengan pengalamannya. Marwan menghadapi segala kesulitan satu persatu kemudian ia dapat menduduki Mesir, Palestina, Hijaz dan Irak. Namun kepemimpinannya tidak berlangsumg lama hanya 1 tahun, sebelum ia wafat menunjuk Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan.

E.     Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/ 684-705)
Ia merupakan orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah sehingga ia disebut-sebut sebagai “pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Pada masa kepemimpinannya ia mampu mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan Bani Umayyah dengan dapat ditundukkannya gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, aksi terror al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafi di Kufah, pemberontakan Mus’ab bin Zubair di Irak serta Romawi yang menggoncangkan sendi-sendi pemerintahan Umayyah.
Berikut ini beberapa kebijakan yang diambil oleh Abdul Malik selama masa kepemimpinannya:
a.       Menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam administrasi di seluruh wilayah bani Umayyah. Arabisasi yang dilakukannya meliputi Arabisasi kantor perpajakan dan kantor keuangan.
b.      Mencetak mata uang secara teratur.
c.       Pengangkatan gubernur dari kalangan Bani Umayyah saja yakni kawan-kawan, kerabat-kerabat dan keturunannya. Bagi para gubernur tersebut tidak diberikan kekuasaan secara mutlak.
d.      Guna memperlancar pemerintahannya ia mendirikan kantor-kantor pos dan membuka jalan-jalan guna kelancaran pengiriman surat.
e.       Membangun beberapa gedung, masjid dan saluran air.
f.       Bersama dengan al-Hajj ia meyempurnakan tulisan mushaf al-Quran dengan titik pada huruf-huruf tertentu.

F.     Al-Walid bin Abdul Malik (86-90 H/ 705-714 M)
   Setelah wafatnya Abdul Malik bin Marwan, pemerinatahan dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul Malik. Kekuasaan islam melangkah ke Spanyol dibawah kepemimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nusair. Karena kekayaan melimpah ruah maka ia menyempurnakan pembangunan-pembangunan, gedung-gedung, pabrik-pabrik, dengan sumur. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga sekarang di Damaskus, membangun masjid Al-Aqhsa di Yerussalem, serta memperluas masjid Nabawi di Madinah. Ia juga melakukan penyantunan kepada para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacar. Ia membangun rumah sakit bagi penderita kusta di Damaskus. Selain itu, ia memberikan penerangan di Damaskus, memperbaiki jalan-jalan, mendirikan sumur-sumur untuk mengambil minyak.  
  


Sebab-Sebab Keruntuhan Dinasti Umayyah

            Adapun sebab – sebab keruntuhan Daulah Umayyah, yaitu :

a.      Sebab sebab umum yaitu:
1.      Penyelewengan dari sistem demokrasi atau musyawarah Islam diganti dengan sistem monarkiheridetis (kerajaan turun-temurun).
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem ini menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2.      Pengkhianatan permusyawaratan di Daumatul Jandal.
Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik yang terjadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir. Kemudian secara terbuka di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap pemberontakan-pemberontakan ini banyak menyedot atau menguras kekuatan pemerintah.
3.      Menyalahi atau mengingkari perjanjian Madain (antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali)
Muawiyah mengingkari perjanjiannya dengan Hasan bin Ali apabila ia wafat maka ynag menggantikannya sebagai khalifah adalah Hasan bin Ali. Namun, itu diingkari, hal ini dapat diketahui bahwa sebelum ia wafat ia telah mengangkat putranya untuk menggantikannya sebagai khalifah. Hal ini tentu menimbulkan kebencian terutama kaum Khawarij.

b.      Sebab sebab khusus, yaitu: 
1.      Kelemahan Yazid bin Abdul Malik memecat pejabat-pejabat yang diangkat semasa pemerintahan Umar bin Abdul Azis diganti dengan orang-orang yang se-suku dengan Yazid bin Abdul Malik, sekalipun orang itu tidak ahli.
2.      Lemahnya pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
3.      Golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian pengusaha terhadap perkembangan agama sangat kurang.
4.      Sebab khusus tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah yaitu munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al Abbas ibn Abdu Muthalib. Gerakan ini mendapatkan dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syiah serta kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar