Sejarah
Berdirinya Dinasti Umayyah
Oleh : Khoirunnis Salamah
Nama Daulah Umayyah
berasal dari nama Umayah ibnu abdi Syams ibnu Abdi Manaf, yaitu salah seorang
dari pemimpin-pemimpin Quraisy Zaman Jahiliyah. Umayyah bersaing dengan
pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam
masyarakat bangsanya.
Sesudah datang Islam, hubungan anatara Bani Umayyah
dengan saudara-saudara sepupunya Bani Hasyim berubah. Oleh karena persaingan
untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan tadi sifatnya berubah menjadi permusuhan.
Bani Umayyah dengan tegas menentang
Rasulullah, sedang Bani Hasyim itu penyokong Rasulullah.
Adapun sebab terjadinya permusuhan itu:
1.
Takut kedudukan mereka dalam masyarakat
diambil oleh Rasulullah saw. (keturunan Bani Hasyim). Dikiranya Rasulullah
ingin mencari kedudukan.
2.
Ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah
(Islam) bertentangan dengan agama nenek moyang mereka (agama Jahiliyah).
Tetapi
mereka terpaksa menyerah dan masuk Islam karena:
1.
Pengikut Rasulullah makin lama makin
banyak. Kebenaran ajaran yang dibawa Nabi Muhammad (Islam)
2.
Karena Kota Makkah ditaklukkan kaum
muslimin maka banyak orang kafir Mekkah masuk Islam.
Kemudian mereka setelah
memasuki Islam, Bani Umayyah lah yang merupakan
golongan kuat membela agama Islam untuk memerangi orang-orang kafir. Di
antara pahlawan yang terkenal yaitu Abu Sufyan ibnu Umayyah kemudian Yazid ibnu
Sufyan (putra Sufyan) begitu juga dengan Hindun istri Sufyan sendiri.
Ditinjau dari rentetan
perjuangan Bani Umayyah pada teorinya mereka telah berdiri sejak pengangkatan
Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah ke-3, sebab beliau keturunan Bani
Umayyah (Utsman bin Affan bin Abd. Ash bin Umayyah).
Kesempatan yang
baik bagi mereka adalah diangkatnya
Muawiyah menjadi Gubernur di daerah Syam oleh khalifah Umar. Sejak Utsman
itulah Bani Umayyah meletakkan dasar-dasar menegakkan khilafah Umayyah.
Ketika Utsman dibunuh
maka penggantinya adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Bani Hasyim) sebagai
khilafah ke-4. Sedang pada waktu itu
kedudukan Muawiyah di Syam telah kuat oleh karena itu mudahlah melawan
Sayyidina Ali dan akhirnya dikalahkan, sehingga jabatan khalifah berpindah
kepada Muawiyah dan disinilah Daulah Umayyah berkuasa sejak tahun 40-132 H (92
tahun).
A. Kekhalifan Muawiyyah bin Abu Sufyan
(41-60 H/ 66-679 M)
Setelah periode
Khulfaur Rasyidin semua kelompok sepakat bahwa telah terjadi perkembangan dan
perubahan , walaupun mereka berselisih paham pada sejauh mana telah terjadi
perubahan. Sesungguhnya, naiknya Muawiyah menjadi khalifah pada mulanya tidak berlangsung
melalui forum pembaiatan yang bebas atau melalui pemilihan dari semua umat.
Yang membaiat Muawiyah untuk pertama kali adalah penduduk Syam yang ketika itu
berada di bawah kekuasaannya, kemudian barulah Muawiyah dibaiat oleh umat
secara keseluruhan setelah tahun persatuan (aamul-jama’ah). Yang harus digaris
bawahi, pada hakikatnya pembaitan itu tidak lebih dari pengakuan terpaksa
terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka disinilah telah
masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan kesukarelaan total atau
permusyawaratan. Karena itu, mungkin
dapat dikatakan bahwa pada detik ini telah terjadi perceraianantara
idealism dan realita, dan sistem kekhalifan dilihat dari asas yang mendasarinya
mulai menyimpang ke arah monarki.
Muawiyah termasuk salah
seorang sahabat Nabi, dan dia juga memiliki kedudukan terkemuka dalam islam
sebagai pejuang dalam perang penaklukan islam di negeri Syam. Beliau ditunjuk
sebagai Gubernur Syam karena dalam diri Muawiyyah terdapat kecakapan dan
ketegasan dalam memimpin. Muawiyah benar-benar telah menunjukkan kemampuannya
dalam administrasi dan kecerdasannya dalam berpolitik, serta mampu
mempertahankan negara islam dari serangan Romawi. Setelah Muawiyah, suasana
terkendalikan. Dia meneruskan kembali kebijakan politiknya pada masa
kekhalifannya. Muawiyah berusaha menarik simpati rakyat dengan kedermawaan dan
sikap santun, walaupun dia juga terkadang keluar dari aturan ini dan
menggunakan kekerasan terhadap orang yang menentangnya.
Pengalaman politik
Muawiyah bin Abu Sufyan telah memperkaya dirinya dengan kebijakan-kebijakan
dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando Panglima Abu Ubaidillah din
Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah dan Mesir dari tangan
Imperium Romawi. Kemudian Muawiyah menjabat sebagai kepala wilayah di Syam yang
membawahi Suriah dan Palestina. Khalifah Utsman menobatkannya sebagai “Amir
Al-Bahr” yang memimpin penyerbuan ke kota Konstatinopel meski belum berhasil.
Opini kelompok-kelompok
islam sekitar kekhalifahan. Kelompok Ahlus Sunnah mengakui kekhalifahannya
setelah tahun persatuan (aamul-jama’ah),
walaupun hal itu lebih banyak didorong oleh tendensi pengkuan terhadap realita
yang ada. Karena, pada dasarnya, kekhalifahan Muawiyah belum berdiri atas dasar
pembaiatan yang bebas dan umum. Sejalan juga dengan kelompok Ahlus Sunnah,
sikap kelompok Mur’jiah dan Muktazilah yang muncul kemudian, bahkan kita
melihat bahwa al-Asham dan al-Futhi dari kelompok Muktazilah mengakui secara
utuh kekhalifahan Muawiyah dan mengkategorikan Muawiyah sebagai imam (khalifah)
pertama. Pendapat ini berseberangan dengan Mahzab Syi’ah. Mereka hanya mengakui
kekhalifahan Ali dan anak keturunannya, serta berpandangan bahwa kelompok
selain Syi’ah adalah perampas hak-hak mereka. Dengan demikian, kelompok Syi’ah
tidak mengakui sama sekali kekhalifahan Muawiyah begitu juga dengan khalifah
yang datang setelahnya, berikut dengan kekhalifahan siapa pun selain keimamahan
(kekhalifahan) keturunan Ahli Bait.
Muawiyah selain sebagai
pendiri juga sebagai khalifah pertama Bani Umayyah. Muawiyah dipandang sebagai
pembangun dinasti ini, oleh sebagian sejarawan dipandang negatif sebab keberhasilannya
memperoleh legalitas atas kekuasannya dalam perang saudara di shiffin. Terlepas
dari itu dalam diri Muawiyah terkumpulan sifat-sifat seorang penguasa,
politikus, dan administrator.
Keberhasilan Muawiyah
mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya kemenangan diplomasi dalam perang
Shiffin dan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib melainkan sejak semula Muawiyah
memiliki “basis nasionalisme” yang solid sebagai landasan pembangunan masa
depan. Selain itu ia mendapatkan dukungan yang kuat dari suriah dan keluarga
Bani Umayyah, ia merupakan seorang administrator yang sangat bijaksana dalam
menempatkan para pejabat-pejabatnya serta ia memiliki kemampuan yang menonjol
sebagai negarawan sejati.
Muawiyah
wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit setelah ia menjabat sebagai khalifah
selama 19 tahun. Dengan diangkatnya Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota maka
tampuk kepimpinan berada ditangannya.
B.
Yazid
bin Muawiyah (60-64 H/ 679-683 M)
Sistem kekhalifahan
mengalami perubahan baru yaitu berubah menjadi sistem kerajaan (monarki).
Perubahan itu terjadi ketika Muawiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan
kekhalifahan kepada Yazid anaknya. Dengan perubahan baru ini, masuklah prinsip
warisan dalam sistem kekhalifahan. Maka, maikin dalamlah jurang pembeda dan
pemisah antara kekhalifahan yang idealistis denagn kekhalifahan yang realistis.
Kerena peralihan ini merupakan suatu peralihan yang teramat penting., adalah
sebuah keharusan untuk menerangkan bagaimana ide pewarisan jabatan kekhalifahan
itu timbul dan bagaimana prosedur pengambilan keputusannya, serta apa penyebab
alasan- alasannya.
Pengangkatan Yazid sebagai khalifah
diikuti oleh penolakan dari kaum Syiah yang telah membaiat Husin bin ali Kufah
sebagai khalifah sepeninggal Muawiyah. Penolakan tersebut mengakibatkan
peperangan Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain bin Ali. Selain itu
Yazid juga menghadapi pemberontakan di Makkah dan Madinah dengan keras. Kaum
Anshor di Madinah mengangkat Abdullah bin Hanzalah dan kaum Quraisy mengangkat
Abdullah bin Muti’, dan penduduk Mekkah mengangkat Abdullah bin Zubair sebagai
pemimpin tanpa pengakuan terhadap kepimimpinan Yazid. Yazid wafat pada tahun 64
H setelah memerintah selama 4 tahun. Pada masa ini pemerintahan islam tidak banyak
berkembang diakibatkan pemerintah disibukkan dengan pemberontakan dari beberapa
pihak.
C.
Muawiyah
bin Yazid (64 H/ 683 M)
Muawiyah bin
Yazid merupakan putra Yazid bin Muawiyah, dan ia menggantikan tampuk
kepimimpinan sepeninggal ayahnya. Namun ia hanya memegang jabatan khalifah
hanya dalam beberapa bulan. Ia mengalami tekanan jiwa yang berat karena tidak
sanggup memikul tanggung jawab kehalifahan, selain itu harus mengatasi masa
kritis dengan banyaknya perselisihan antar suku. Dengan wafatnya Muawiyah bin
Yazid habislah keturunan Muawiyah.
D.
Marwan
bin Hakam (64-65 H/ 683-684 M)
Marwan bin Hakam
pada masa Utsman bin Affan, seorang pemegang stempel khalifah, pada masa
Muawiyah bin Abu Sufyan ia merupakan gubernur Madinah dan menjadi penasehat
pada masa Yazid bin Muawiyah di Damaskus. Muawiyah II tidak menunjuk
penggantinya sebagai khalifah kemudian keluarga besar Bani Umayyah menunjuknya
sebagai khalifah, sebab ia dianggap paling depan mengendalikan kekuasaan dengan
pengalamannya. Marwan menghadapi segala kesulitan satu persatu kemudian ia
dapat menduduki Mesir, Palestina, Hijaz dan Irak. Namun kepemimpinannya tidak
berlangsumg lama hanya 1 tahun, sebelum ia wafat menunjuk Abdul Malik dan Abdul
Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan.
E.
Abdul
Malik bin Marwan (65-86 H/ 684-705)
Ia merupakan
orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah sehingga ia
disebut-sebut sebagai “pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Pada masa
kepemimpinannya ia mampu mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa
kekuasaan Bani Umayyah dengan dapat ditundukkannya gerakan separatis Abdullah
bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, aksi terror
al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafi di Kufah, pemberontakan Mus’ab bin Zubair di
Irak serta Romawi yang menggoncangkan sendi-sendi pemerintahan Umayyah.
Berikut ini beberapa
kebijakan yang diambil oleh Abdul Malik selama masa kepemimpinannya:
a. Menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam administrasi di seluruh wilayah bani
Umayyah. Arabisasi yang dilakukannya meliputi Arabisasi kantor perpajakan dan
kantor keuangan.
b. Mencetak
mata uang secara teratur.
c. Pengangkatan
gubernur dari kalangan Bani Umayyah saja yakni kawan-kawan, kerabat-kerabat dan
keturunannya. Bagi para gubernur tersebut tidak diberikan kekuasaan secara
mutlak.
d. Guna
memperlancar pemerintahannya ia mendirikan kantor-kantor pos dan membuka
jalan-jalan guna kelancaran pengiriman surat.
e. Membangun
beberapa gedung, masjid dan saluran air.
f. Bersama
dengan al-Hajj ia meyempurnakan tulisan mushaf al-Quran dengan titik pada
huruf-huruf tertentu.
F.
Al-Walid
bin Abdul Malik (86-90 H/ 705-714 M)
Setelah
wafatnya Abdul Malik bin Marwan, pemerinatahan dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul
Malik. Kekuasaan islam melangkah ke Spanyol dibawah kepemimpinan pasukan Thariq
bin Ziyad ketika Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nusair. Karena
kekayaan melimpah ruah maka ia menyempurnakan pembangunan-pembangunan,
gedung-gedung, pabrik-pabrik, dengan sumur. Ia membangun masjid al-Amawi yang
terkenal hingga sekarang di Damaskus, membangun masjid Al-Aqhsa di Yerussalem,
serta memperluas masjid Nabawi di Madinah. Ia juga melakukan penyantunan kepada
para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacar. Ia membangun rumah sakit
bagi penderita kusta di Damaskus. Selain itu, ia memberikan penerangan di Damaskus,
memperbaiki jalan-jalan, mendirikan sumur-sumur untuk mengambil minyak.
Sebab-Sebab
Keruntuhan Dinasti Umayyah
Adapun
sebab – sebab keruntuhan Daulah Umayyah, yaitu :
a.
Sebab
sebab umum yaitu:
1. Penyelewengan
dari sistem demokrasi atau musyawarah Islam diganti dengan sistem monarkiheridetis (kerajaan
turun-temurun).
Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem ini menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat di
kalangan anggota keluarga istana.
2. Pengkhianatan
permusyawaratan di Daumatul Jandal.
Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak
bisa dipisahkan dari konflik yang terjadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir. Kemudian secara
terbuka di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap
pemberontakan-pemberontakan ini banyak menyedot atau menguras kekuatan
pemerintah.
3. Menyalahi
atau mengingkari perjanjian Madain (antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali)
Muawiyah mengingkari perjanjiannya dengan Hasan bin
Ali apabila ia wafat maka ynag menggantikannya sebagai khalifah adalah Hasan
bin Ali. Namun, itu diingkari, hal ini dapat diketahui bahwa sebelum ia wafat
ia telah mengangkat putranya untuk menggantikannya sebagai khalifah. Hal ini
tentu menimbulkan kebencian terutama kaum Khawarij.
b.
Sebab
sebab khusus, yaitu:
1. Kelemahan
Yazid bin Abdul Malik memecat pejabat-pejabat yang diangkat semasa pemerintahan
Umar bin Abdul Azis diganti dengan orang-orang yang se-suku dengan Yazid bin
Abdul Malik, sekalipun orang itu tidak ahli.
2. Lemahnya
pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
3. Golongan
agama banyak yang kecewa karena perhatian pengusaha terhadap perkembangan agama
sangat kurang.
4. Sebab
khusus tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah yaitu munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al Abbas ibn Abdu Muthalib. Gerakan ini mendapatkan
dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syiah serta kaum mawali yang
merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar