Faktor
Penyebab Ketimpangan Sosial di Malang Abad ke-19
Menurut
Handinoto dalam (Furnival, 1939: 446) “The
city is The People”, kota adalah manusia yang menghuninya, demikian sering
dikatakan oleh para ahli perkotaan. Seperti hanya semua kota-kota kolonial di
Jawa pada umumnya. Malang juga dihuni oleh sebuah masyarakat yang majemuk.
Masyarakat majemuk tersebut terdiri atas: Penduduk pribumi setempat, penduduk
Timur asing (Vreemde Oosterlingen),
yang terdiri atas orang Cina dan Arab, serta Timur asing lainnya, dan penduduk
Belanda sendiri yang memerintah.
Kota
Malang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1400-an sebagai pusat kerajaan dimana
peninggalan dari masa ini berupa reruntuhan benteng pertahanan di dataran
antara Sungai Brantas dan Sungai Amprong yang dikenal dengan nama Kutobedah
(Kotapraja Malang 50 Tahun, 1964:12). Pada tahun 1461 Malang ditaklukan oleh
Kerajaan Demak dan periode berikutnya secara berurutan dikuasai oleh Untung
Suropati (Pasuruan tahun 1686-1706), dan Kerajaan Mataram Islam). Era baru
muncul ketika Belanda mulai masuk kota ini sejak tahun 1767 dengan mendirikan
benteng di daerah yang sekarang ditempati Rumah Sakit Daerah Syaiful Anwar di
daerah Klojen Lor. Di dalam benteng tersebut didirikan pemukiman awal Belanda.
Pada tahun 1821 Belanda memantapkan kedudukannya di Malang dan mulai meluaskan
permukiman keluar dari benteng. Lambat
laun Malang berkembang menjadi kota kabupaten kecil.
Perubahan
pesat terjadi setelah tahun 1870 dengan diberlakukannya Undang-Undang Agraria
dan Gula yang bertujuan mengahapus sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang sudah berlangsung mulai tahun 1830-1870. Isi
dari undang-undang tersebut pada pokoknya memberi kesempatan kepada pihak
swasta (partikelir) untuk menyewa tanah (selama 75 tahun), yang digunakan untuk
perkebunan. Maka sejak saat itu berdirilah perkebunan partikelir dalam jumlah
besar di Jawa, yang disusul dengan meningkatnya jumlah penduduk Eropa di Jawa. Di
Jawa Timur, terutama bagian selatan, Malang merupakan kota terdekat yang dapat
dicapai dari wilayah perkebunan milik swasta untuk membangun prasarana baik di
dalam kota, maupun luas kota berupa jalur transportasi yang menguhubungkan
Malang dengan kota-kota lainnya (Baskara, 2010).
Pada saat
pemerintah kolonial Belanda mengembangkan industri perkebunan dan memperoleh
kesuksesan maka muncul era baru yaitu kapitalisasi dan modernisasi. Kereta api
mulai mengganti kuda dan perahu sebagai modal transportasi. Kota-kota mulai
berkembang pesat seiring dengan proses migrasi penduduk dari daerah desa ke
kota. Ribuan buruh didatangkan dari daerah padat penduduk di Jawa Tengah ke
daerah perkebunan baru yang jarang penduduk di Ujung Timur Pulau Jawa
(Hudiyanto, 2012: 159).
Dalam sejarah Indonesia, tidak ada
aktivitas yang sangat menyita lahan dan penduduk di negara ini selain
perkebunan. Perolehan devisa negara kolonial sangat mengandalkan
produktivitas dari segala sektor
perkebunan. Pengenalan perkebunan menjadi sebuah titik balik yang sangat
penting dalam perkembangan bangsa Indonesia, terutama di bidang ekonomi dan
sosial. Kehidupan perkebunan ini menjadi sumber inspirasi Edward Douwes Dekker
dalam novel Max Havelaar (2014).
Sikap ini dianggap sebagai respon kritis pertama terhadap kebijakan ekonomi
Pemerintah Kolonial Belanda. Sikap kritis terhadap praktek eksploitasi buruh
yang sering dilakukan pengusaha (ondernemers)
di perkebunan swasta memberi inspirasi Douwes Dekker yang pernah bekerja di
Perkebunan Kopi Sumber Duren Malang dan Pabrik Gula Padjarakan, Probolinggo
untuk menulis novel Max Havelaar
(Hudianto dalam Tempo, 2012: 65-66).
Perkebunan
telah menjadi awal munculnya dua basis ekonomi penduduk Jawa yaitu ekonomi
modern dan tradisional. Dalam beberapa hal, ekonomi perkebunan yang menjadi
pintu masuk kapitalisme ini merupakan akar dari munculnya kesenjangan sosial di
Indonesia pada era-era berikutnya. Dalam beberapa hal, ekonomi perkebunan yang
menjadi pintu masuk kapitalisme ini merupakan akar dari munculnya kesenjangan
sosial di Indonesia sosial pada era-era berikutnya. Setidaknya ini berdasar
pada teori Boeke perkebunan telah menciptakan ekonomi modern dan tradisional
yang masing-masing ibarat sebuah kapsul yang tersekat satu sama lain. Ekonomi
modern memiliki produksi skala besar dan beriorentasi internasional.
Sebaliknya, ekonomi tradisional memiliki skala produksi terbatas, bahkan
subsisten dan beriorentasi domestik. Multiplying
effect yang muncul akibat aktivitas ekonomi perkebunan telah mengubah
landscape alam dan sosial masyarakat Jawa. Infrastruktur, birokrasi, dan
monetisasi telah mengubah struktur masyarakat Jawa secara perlahan (Hudianto,
2015: 97).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar