Selasa, 30 Oktober 2018

Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial di Malang Abad ke-19


Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial di Malang Abad ke-19








Menurut Handinoto dalam (Furnival, 1939: 446) “The city is The People”, kota adalah manusia yang menghuninya, demikian sering dikatakan oleh para ahli perkotaan. Seperti hanya semua kota-kota kolonial di Jawa pada umumnya. Malang juga dihuni oleh sebuah masyarakat yang majemuk. Masyarakat majemuk tersebut terdiri atas: Penduduk pribumi setempat, penduduk Timur asing (Vreemde Oosterlingen), yang terdiri atas orang Cina dan Arab, serta Timur asing lainnya, dan penduduk Belanda sendiri yang memerintah.
Kota Malang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1400-an sebagai pusat kerajaan dimana peninggalan dari masa ini berupa reruntuhan benteng pertahanan di dataran antara Sungai Brantas dan Sungai Amprong yang dikenal dengan nama Kutobedah (Kotapraja Malang 50 Tahun, 1964:12). Pada tahun 1461 Malang ditaklukan oleh Kerajaan Demak dan periode berikutnya secara berurutan dikuasai oleh Untung Suropati (Pasuruan tahun 1686-1706), dan Kerajaan Mataram Islam). Era baru muncul ketika Belanda mulai masuk kota ini sejak tahun 1767 dengan mendirikan benteng di daerah yang sekarang ditempati Rumah Sakit Daerah Syaiful Anwar di daerah Klojen Lor. Di dalam benteng tersebut didirikan pemukiman awal Belanda. Pada tahun 1821 Belanda memantapkan kedudukannya di Malang dan mulai meluaskan permukiman keluar dari benteng.  Lambat laun Malang berkembang menjadi kota kabupaten kecil.
Perubahan pesat terjadi setelah tahun 1870 dengan diberlakukannya Undang-Undang Agraria dan Gula yang bertujuan mengahapus sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang sudah berlangsung mulai tahun 1830-1870. Isi dari undang-undang tersebut pada pokoknya memberi kesempatan kepada pihak swasta (partikelir) untuk menyewa tanah (selama 75 tahun), yang digunakan untuk perkebunan. Maka sejak saat itu berdirilah perkebunan partikelir dalam jumlah besar di Jawa, yang disusul dengan meningkatnya jumlah penduduk Eropa di Jawa. Di Jawa Timur, terutama bagian selatan, Malang merupakan kota terdekat yang dapat dicapai dari wilayah perkebunan milik swasta untuk membangun prasarana baik di dalam kota, maupun luas kota berupa jalur transportasi yang menguhubungkan Malang dengan kota-kota lainnya (Baskara, 2010).
Pada saat pemerintah kolonial Belanda mengembangkan industri perkebunan dan memperoleh kesuksesan maka muncul era baru yaitu kapitalisasi dan modernisasi. Kereta api mulai mengganti kuda dan perahu sebagai modal transportasi. Kota-kota mulai berkembang pesat seiring dengan proses migrasi penduduk dari daerah desa ke kota. Ribuan buruh didatangkan dari daerah padat penduduk di Jawa Tengah ke daerah perkebunan baru yang jarang penduduk di Ujung Timur Pulau Jawa (Hudiyanto, 2012: 159).
Dalam sejarah Indonesia, tidak ada aktivitas yang sangat menyita lahan dan penduduk di negara ini selain perkebunan. Perolehan devisa negara kolonial sangat mengandalkan produktivitas  dari segala sektor perkebunan. Pengenalan perkebunan menjadi sebuah titik balik yang sangat penting dalam perkembangan bangsa Indonesia, terutama di bidang ekonomi dan sosial. Kehidupan perkebunan ini menjadi sumber inspirasi Edward Douwes Dekker dalam novel Max Havelaar (2014). Sikap ini dianggap sebagai respon kritis pertama terhadap kebijakan ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda. Sikap kritis terhadap praktek eksploitasi buruh yang sering dilakukan pengusaha (ondernemers) di perkebunan swasta memberi inspirasi Douwes Dekker yang pernah bekerja di Perkebunan Kopi Sumber Duren Malang dan Pabrik Gula Padjarakan, Probolinggo untuk menulis novel Max Havelaar (Hudianto dalam Tempo, 2012: 65-66).
Perkebunan telah menjadi awal munculnya dua basis ekonomi penduduk Jawa yaitu ekonomi modern dan tradisional. Dalam beberapa hal, ekonomi perkebunan yang menjadi pintu masuk kapitalisme ini merupakan akar dari munculnya kesenjangan sosial di Indonesia pada era-era berikutnya. Dalam beberapa hal, ekonomi perkebunan yang menjadi pintu masuk kapitalisme ini merupakan akar dari munculnya kesenjangan sosial di Indonesia sosial pada era-era berikutnya. Setidaknya ini berdasar pada teori Boeke perkebunan telah menciptakan ekonomi modern dan tradisional yang masing-masing ibarat sebuah kapsul yang tersekat satu sama lain. Ekonomi modern memiliki produksi skala besar dan beriorentasi internasional. Sebaliknya, ekonomi tradisional memiliki skala produksi terbatas, bahkan subsisten dan beriorentasi domestik. Multiplying effect yang muncul akibat aktivitas ekonomi perkebunan telah mengubah landscape alam dan sosial masyarakat Jawa. Infrastruktur, birokrasi, dan monetisasi telah mengubah struktur masyarakat Jawa secara perlahan (Hudianto, 2015: 97).












Tidak ada komentar:

Posting Komentar